Selasa, 07 Agustus 2012

Imam Ibnu Hazm Baru Belajar Ilmu Agama Diusia 26 Tahun


Abu Muhammad bin Al-Arabi mengatakan, “Sesungguhnya Abu Muhammad bin Hazm dilahirkan di Kordova. Sedang kakeknya yang bernama Said dilahirkan di kota Auniah yang saat itu sedang dalam perjalanan pindah menuju Kordova.
Di kota ini, kakek Ibnu Hazm itu memegang jabatan menteri yang setelahnya dipegang oleh ayahnya. Ibnu Hazm berada di istana kementerian sejak berumur baligh sampai berumur dua puluh enam tahun. Ia berkata, “Sungguh, saat aku mencapai umur ini (26 tahun), aku tidak mengetahui bagaimana cara melakukan shalat dengan benar.”
Abu Muhammad bin Al-Arabi melanjutkan kata-katanya itu, “Aku telah diberitahu oleh Ibnu Hazm bahwa sebab ia belajar fiqh adalah setelah ia menyaksikan jenazah seorang pejabat besar rekan ayahnya, lalu ia masuk ke dalam masjid sebelum shalat Ashar. Di dalam masjid itu ia menemukan banyak orang.
Setelah masuk, ia duduk tanpa melakukan shalat terlebih dahulu. Karena itu, guru yang membimbingnya memberi isyarat kepadanya agar ia berdiri melakukan shalat Tahiyatul Masjid. Namun, Ibnu Hazm tidak paham isyarat gurunya tersebut. Orang-orang yang ada di sekitar Ibnu Hazm berkata, “Apakah kamu mencapai umur sebesar ini namun tidak mengetahui bahwa shalat Tahiyatul Masjid itu wajib? “ peristiwa itu terjadi saat Ibnu Hazm berumur 26 tahun. Ia mengatakan, “Lalu aku berdiri dan rukuk. Aku menjadi paham isyarat guruku tersebut.”
Ia mengatakan, “Ketika shalat jenazah akan dimulai, maka aku masuk ke masjid dan melakukan shalat. Namun, ada yang mengatakan kepadaku, “Duduklah, duduklah. Ini bukan waktu shalat.” Karena rasa malu dan sedih atas apa yang menimpaku, aku meninggalkan kerumunan tersebut. Aku berkata kepada guruku, “Tunjukkan kepadaku rumah ahli fikih, Syaikh Al-Musyawir Abu Abdillah bin Dahun.”
Aku pun diberitahu rumah syaikh tersebut oleh guruku itu. Aku mendatanginya dan menceritakan peristiwa yang menyedihkan itu. Aku meminta saran dan menyarankan kepadanya tentang ilmu yang pertama kali harus aku pelajari. Ia menunjukkan kepadaku kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas Rahimahullah.
Pada hari berikutnya, aku mulai membaca kitab tersebut di hadapannya. Aku terus membacanya di bawah bimbingannya dan bimbingan ulama lainnya selama tiga tahun. Setelah itu aku mulai berdiskusi.”[1]
Adz-Dzahabi mengatakan, “Ibnu Hazm dibesarkan dalam kenikmatan dan kemewahan. Di samping itu, ia mempunyai kecerdasan yang tinggi, pikiran yang cemerlang dan kitab-kitab yang banyak dan berkualitas. Ayahnya dalah salah seorang pejabat tinggi di Kordova, yaitu menteri di bawah kekuasaan Daulah Al-Al-Amiriah. Begitu pula Abu Muhammad (Ibnu Hazm) pada masa mudanya. Pada mulanya, ia pandai dalam bidang sastra, sejarah, syair, ilmu logika dan filsafat. Semua itu berpengaruh terhadapnya.
Aduhai! Seandainya ia selamat dari ilmu-ilmu itu. Aku telah menemukan sebuah karyanya yang dalam karya tersebut ia mendorong orang untuk memperhatikan ilmu logika dan melebihkannya atas semua ilmu. Aku berpikir tentang dia lalu aku menemukan bahwa dia adalah sang pemimpin dalam ilmu-ilmu Islam, sang penguasa ilmu naqli yang tiada bandingannya dan pengikut ekstrim madzhab Zhahiriyah dalam bidang furu’ bukan ushul.
Ada yang mengatakan bahwa dia pertama kali mengikuti fikih asy-Syafi’i namun ijtihadnya mengantarkannya untuk menolak qiyas, baik yang jali (jelas) maupun yang khafi (samar), menggunakan zhahir nash dan keumuman Al-Quran maupun hadits dan menggunakan kaidah bara’ah ashliyah (suatu kaidah yang menerangkan bahwa pada dasarnya manusia adalah terbebas dari segala beban) dan istishab al-hal (suatu kaidah yang menerangkan bahwa apa yang sudah lebih dahulu masih berlangsung sampai sekarang). Ia telah mengarang banyak kitab tentang pendapat-pendapatnya itu, mendiskusikannya dan menjelaskannya dengan lisannya dan penanya.[2]
Sumber: “60 Biografi Ulama Salaf”, Syaikh Ahmad Farid, hal. 668-670. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Tahun 2006 via http://percikankehidupan.wordpress.com

http://kisahislam.net/2012/02/17/ibnu-hazm-permulaan-mencari-ilmu-dan-kecerdasan-beliau/

Kegigihan Imam Syafi'i dalam Menuntut Ilmu



Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata, “Aku hafal Al-Qur’an ketika usiaku tujuh tahun, dan hafal Al-Muwaththa’ di usia sepuluh tahun. Ketika khatam Al-Qur’an aku masuk ke dalam masjid. Di situ aku duduk bersama para ulama, ikut menyimak perbincangan dan tanya-jawab sehingga aku menghafalnya. Ibuku tak punya uang untuk membeli kertas. Maka, jika menemukan tulang, kuambil dan aku pun menulis di situ. Setelah dipenuhi tulisan, kumasukkan ke dalam guci yang sudah lama kumiliki.”
Ia juga berkata, “Aku tidak punya harta. Tetapi, aku sudah menuntut ilmu sejak masih belia—usianya di bawah tiga belas tahun. Aku pergi ke kantor-kantor mencari kertas yang bisa ditulisi. Di situlah aku menuliskannya.” (Uluw al-Himmah hal.147)

Ketawadhuan Syaikh Al-Utsaimin


Ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin pulang dari Masjidil Haram usai shalat menuju hotel, beliau menjumpai sekumpulan anak muda sedang bermain sepak bola dalam keadaan mereka belum sholat. Maka beliau pun menghentikan permainan sepak bola itu, memberi nasehat kepada mereka, dan mengingatkan mereka kepada Allah dalam keadaan mereka tidak tahu siapa beliau. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin melarang mereka untuk meneruskan permainannya sebelum mereka sholat. Salah seorang dari mereka mendekati beliau dan dengan nada tinggi ia memaki-maki. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin membalas kata-kata anak muda itu dengan penuh rasa cinta dan keramahan, “Engkau sebaiknya ikut saya ke hotel, kita bisa bicara di sana.”
Waktu itu Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bersama beberapa pelajar dan mereka mendorong anak muda itu untuk menuruti Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ikut bersama beliau. Maka ia pun ikut bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ke hotel. Beberapa saat kemudian beliau meninggalkan ruangan untuk suatu keperluan. Para pelajar yang bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bertanya kepada anak muda, “Tahukah kamu siapa Syaikh itu?” Ia menjawab, “Saya tidak tahu.” Mereka berkata, “Beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.” Mendengar jawaban itu, seketika wajah anak muda itu berubah. Ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin datang, anak muda itu menangis dan mencium kening beliau. Setelah peristiwa itu ia mengalami perubahan dan menjadi anak muda yang shaleh. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41)
Sumber: Untaian Mutiara Kehidupan Ulama Ahlus Sunnah, oleh Abu Abdillah Alercon, dll (www.fatwaonline.com), penerbit Qaulan Karima, hal. 101-118.

Ulama yang menjaga kebenaran


Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (12/ 346 ) dan dinukil oleh al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya an-Nukat ash-Shalahiyyah, pada pembahasan hadits Maqlub (ma’rifatul maqlub berarti hadits-hadits yang diputar balik).
Terdapat dua kisah masyhur di sana, salah satunya adalah kisah Abu Nu’aim dan berikutnya adalah kisah al-Bukhari rahimahullah .
Adapun kisah Abu Nu’aim, al-Khatib meriwayatkan dari jalan Ahmad bin Manshur ar-Ramadi (dari kalangan muhaditsin) -waktu itu tingkatannya masih kecil dibandingkan dengan tiga tokoh yang ada dalam kisah ini, Abu Nu’aim, al-Imam Ahmad, dan shahabatnya yaitu Yahya ibnu Ma’in, yang sangat ditakuti oleh para pemalsu hadits, dan yang lainnya karena Yahya bin Ma’in sangat jeli dan menguji seorang perawi dan akan ketahuan. Sedangkan Abu Nu’aim adalah termasuk syaikhnya al-Bukhari dari masyayih (guru-guru)nya yang besar-, mengatakan :
Aku keluar melakukan safar bersama Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in menuju Abdur Razaq ash-Shan’ani, -beliau seorang muhaddits yang terkenal dalam tarikh (sejarah), orang yang paling banyak didatangi oleh muhadditsin, ketika berada di Shan’a-, maka tatkala kami pulang ke negeri Kuffah. Berkata Yahya bin Ma’in kepada al-Imam Ahmad bin Hanbal : “Saya ingin menguji Abu Nu’aim –apakah benar-benar tsiqah/tidak-“ Maka al-Imam Ahmad mengatakan : “Jangan kamu lakukan itu, dia itu tsabit (orang yang teguh), jelas dan tidak perlu diuji”.
Akan tetapi, Yahya bin Ma’in tidak peduli. Maka diapun mengambil selembar kertas kemudian menulis dalam satu lembar itu 30 hadits dari haditsnya Abu Nu’aim, kemudian pada setiap akhir dari 10 hadits itu, beliau memasukkan hadits yang bukan dari riwayat Abu Nu’aim, kemudian kamipun mendatangi Abu Nu’aim, maka diapun keluar menemui kami, kemudian duduk di atas bangku panjang di beranda rumahnya yang berdampingan dengan pintu rumahnya, dan Abu Nu’aim mendudukkan al-Imam Ahmad di samping kanannya dan Yahya bin Ma’in di samping kirinya. Dan saya -Ahmad bin Manshur- duduk di bawah. Maka Yahya bin Ma’in pun mulai membaca 10 hadits yang pertama, dalam keadaan Abu Nu’aim mendengarkannya, kemudian membaca hadits yang ke sebelas, maka berkata Abu Nu’aim : “Ini bukan hadits saya, hapus hadits itu”.
Kemudian Yahya bin Ma’in membaca 10 hadits yang kedua, kemudian membaca hadits yang ke dua puluh satu, maka berkata Abu Nu’aim : “Ini juga bukan hadits saya, hapus hadits itu”. Kemudian dibaca 10 hadits yang terakhir, kemudian membaca hadits sisipan yang ketiga.
Maka di sinilah Abu Nu’aim marah, maka berubahlah wajah Abu Nu’aim -tahu bahwa ia sedang diuji oleh Yahya bin Ma’in-. Kemudian Abu Nu’aim menggenggam lengannya al-Imam Ahmad yang ada di samping kanannya, kemudian beliau mengatakan : “Adapun ini, maka wara’ (kesederhanaan)nya orang ini menghalanginya untuk berbuat seperti ini, dan adapun ini, mengisyaratkan kepada Ahmad ar-Ramadi, maka dia masih kecil untuk bisa melakukan yang seperti ini, akan tetapi ini dari perbuatanmu, wahai orang yang melakukan”.
Kemudian beliau mengeluarkan kakinya dari balik pakaiannya kemudian ditendangnya Yahya bin Ma’in, seingga dia jungkir balik (berputar), kemudian Abu Nu’aim masuk ke rumahnya dan ditutup pintu rumahnya.
Maka Ahmad berkata kepada Yahya bin Ma’in: “Bukankah saya sudah melarangmu untuk melakukan itu, dan aku mengatakan kepadamu bahwa orang ini tsabt/tsiqah”. Yahya bin Ma’in berkata kepada al-Imam Ahmad : “Satu tendangan ini lebih aku sukai daripada safar yang saya lakukan”.

Kesederhanaan Syaikh Al-Utsaimin


Abdullah bin Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin (putra beliau) berkisah:

Suatu ketika Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz Alu Su’ud, gubernur Qashim, memberi hadiah kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sebuah mobil baru. Ketika pulang ke rumah, beliau melihat sebuah mobil diparkir di depan rumah dan beliau pun diberi tahu tentang mobil itu. Mobil itu tetap di luar rumah sampai lima hari tanpa dipakai oleh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Beliau akhirnya berkata kepada putranya, Abdullah, “Kembalikan mobil itu kepada Pangeran dan ucapkan terima kasih atas kemurahan hatinya. Beritahu dia bahwa saya tidak membutuhkannya.”
Maka mobil itupun dikembalikan kepada Pangeran Abdullah, sementara Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tetap mengendarai mobilnya yang sudah tua dan murah. Sampai meninggal beliau masih tetap memiliki mobil yang sama. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 23)

http://kisahislam.net/2012/07/29/kembalikan-mobil-itu-kepada-pangeran/

Jatuhnya Seorang Alim, Jatuhnya Dunia


Di nukil dari kitab “Muqodimah Hasyiah Ibnu Abidin” pada jilid yang ke 1/67, kisahnya Imam Abu Hanifah bersama seorang anak kecil, berikut nukilannya:
Suatu ketika Imam Abu Hanifah melihat seorang anak kecil yang sedang bermain-main dengan lumpur, maka beliau menghampirinya lalu berkata kepadanya: “Wahai anak kecil, hati-hati nanti kamu jatuh terpeleset ke tanah”. Anak kecil tersebut menjawab perkataan sang Imam: “Hati-hati juga dirimu dari jatuh (ke dalam kesalahan), karena jatuhnya seorang alim akan bisa menjadikan jatuhnya dunia”.
Maka semenjak mendengar ucapan tersebut Imam Abu Hanifah enggan untuk memberi fatwa kepada manusia, melainkan setelah terlebih dahulu mempelajari isi pertanyaanya dan mendiskusikan bersama murid-muridnya selama sebulan penuh. 
Sumber: Ebook Mutiara Salaf (www.islamhouse.com)