Selasa, 07 Agustus 2012

Imam Ibnu Hazm Baru Belajar Ilmu Agama Diusia 26 Tahun


Abu Muhammad bin Al-Arabi mengatakan, “Sesungguhnya Abu Muhammad bin Hazm dilahirkan di Kordova. Sedang kakeknya yang bernama Said dilahirkan di kota Auniah yang saat itu sedang dalam perjalanan pindah menuju Kordova.
Di kota ini, kakek Ibnu Hazm itu memegang jabatan menteri yang setelahnya dipegang oleh ayahnya. Ibnu Hazm berada di istana kementerian sejak berumur baligh sampai berumur dua puluh enam tahun. Ia berkata, “Sungguh, saat aku mencapai umur ini (26 tahun), aku tidak mengetahui bagaimana cara melakukan shalat dengan benar.”
Abu Muhammad bin Al-Arabi melanjutkan kata-katanya itu, “Aku telah diberitahu oleh Ibnu Hazm bahwa sebab ia belajar fiqh adalah setelah ia menyaksikan jenazah seorang pejabat besar rekan ayahnya, lalu ia masuk ke dalam masjid sebelum shalat Ashar. Di dalam masjid itu ia menemukan banyak orang.
Setelah masuk, ia duduk tanpa melakukan shalat terlebih dahulu. Karena itu, guru yang membimbingnya memberi isyarat kepadanya agar ia berdiri melakukan shalat Tahiyatul Masjid. Namun, Ibnu Hazm tidak paham isyarat gurunya tersebut. Orang-orang yang ada di sekitar Ibnu Hazm berkata, “Apakah kamu mencapai umur sebesar ini namun tidak mengetahui bahwa shalat Tahiyatul Masjid itu wajib? “ peristiwa itu terjadi saat Ibnu Hazm berumur 26 tahun. Ia mengatakan, “Lalu aku berdiri dan rukuk. Aku menjadi paham isyarat guruku tersebut.”
Ia mengatakan, “Ketika shalat jenazah akan dimulai, maka aku masuk ke masjid dan melakukan shalat. Namun, ada yang mengatakan kepadaku, “Duduklah, duduklah. Ini bukan waktu shalat.” Karena rasa malu dan sedih atas apa yang menimpaku, aku meninggalkan kerumunan tersebut. Aku berkata kepada guruku, “Tunjukkan kepadaku rumah ahli fikih, Syaikh Al-Musyawir Abu Abdillah bin Dahun.”
Aku pun diberitahu rumah syaikh tersebut oleh guruku itu. Aku mendatanginya dan menceritakan peristiwa yang menyedihkan itu. Aku meminta saran dan menyarankan kepadanya tentang ilmu yang pertama kali harus aku pelajari. Ia menunjukkan kepadaku kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas Rahimahullah.
Pada hari berikutnya, aku mulai membaca kitab tersebut di hadapannya. Aku terus membacanya di bawah bimbingannya dan bimbingan ulama lainnya selama tiga tahun. Setelah itu aku mulai berdiskusi.”[1]
Adz-Dzahabi mengatakan, “Ibnu Hazm dibesarkan dalam kenikmatan dan kemewahan. Di samping itu, ia mempunyai kecerdasan yang tinggi, pikiran yang cemerlang dan kitab-kitab yang banyak dan berkualitas. Ayahnya dalah salah seorang pejabat tinggi di Kordova, yaitu menteri di bawah kekuasaan Daulah Al-Al-Amiriah. Begitu pula Abu Muhammad (Ibnu Hazm) pada masa mudanya. Pada mulanya, ia pandai dalam bidang sastra, sejarah, syair, ilmu logika dan filsafat. Semua itu berpengaruh terhadapnya.
Aduhai! Seandainya ia selamat dari ilmu-ilmu itu. Aku telah menemukan sebuah karyanya yang dalam karya tersebut ia mendorong orang untuk memperhatikan ilmu logika dan melebihkannya atas semua ilmu. Aku berpikir tentang dia lalu aku menemukan bahwa dia adalah sang pemimpin dalam ilmu-ilmu Islam, sang penguasa ilmu naqli yang tiada bandingannya dan pengikut ekstrim madzhab Zhahiriyah dalam bidang furu’ bukan ushul.
Ada yang mengatakan bahwa dia pertama kali mengikuti fikih asy-Syafi’i namun ijtihadnya mengantarkannya untuk menolak qiyas, baik yang jali (jelas) maupun yang khafi (samar), menggunakan zhahir nash dan keumuman Al-Quran maupun hadits dan menggunakan kaidah bara’ah ashliyah (suatu kaidah yang menerangkan bahwa pada dasarnya manusia adalah terbebas dari segala beban) dan istishab al-hal (suatu kaidah yang menerangkan bahwa apa yang sudah lebih dahulu masih berlangsung sampai sekarang). Ia telah mengarang banyak kitab tentang pendapat-pendapatnya itu, mendiskusikannya dan menjelaskannya dengan lisannya dan penanya.[2]
Sumber: “60 Biografi Ulama Salaf”, Syaikh Ahmad Farid, hal. 668-670. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Tahun 2006 via http://percikankehidupan.wordpress.com

http://kisahislam.net/2012/02/17/ibnu-hazm-permulaan-mencari-ilmu-dan-kecerdasan-beliau/

Kegigihan Imam Syafi'i dalam Menuntut Ilmu



Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata, “Aku hafal Al-Qur’an ketika usiaku tujuh tahun, dan hafal Al-Muwaththa’ di usia sepuluh tahun. Ketika khatam Al-Qur’an aku masuk ke dalam masjid. Di situ aku duduk bersama para ulama, ikut menyimak perbincangan dan tanya-jawab sehingga aku menghafalnya. Ibuku tak punya uang untuk membeli kertas. Maka, jika menemukan tulang, kuambil dan aku pun menulis di situ. Setelah dipenuhi tulisan, kumasukkan ke dalam guci yang sudah lama kumiliki.”
Ia juga berkata, “Aku tidak punya harta. Tetapi, aku sudah menuntut ilmu sejak masih belia—usianya di bawah tiga belas tahun. Aku pergi ke kantor-kantor mencari kertas yang bisa ditulisi. Di situlah aku menuliskannya.” (Uluw al-Himmah hal.147)

Ketawadhuan Syaikh Al-Utsaimin


Ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin pulang dari Masjidil Haram usai shalat menuju hotel, beliau menjumpai sekumpulan anak muda sedang bermain sepak bola dalam keadaan mereka belum sholat. Maka beliau pun menghentikan permainan sepak bola itu, memberi nasehat kepada mereka, dan mengingatkan mereka kepada Allah dalam keadaan mereka tidak tahu siapa beliau. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin melarang mereka untuk meneruskan permainannya sebelum mereka sholat. Salah seorang dari mereka mendekati beliau dan dengan nada tinggi ia memaki-maki. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin membalas kata-kata anak muda itu dengan penuh rasa cinta dan keramahan, “Engkau sebaiknya ikut saya ke hotel, kita bisa bicara di sana.”
Waktu itu Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bersama beberapa pelajar dan mereka mendorong anak muda itu untuk menuruti Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ikut bersama beliau. Maka ia pun ikut bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ke hotel. Beberapa saat kemudian beliau meninggalkan ruangan untuk suatu keperluan. Para pelajar yang bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bertanya kepada anak muda, “Tahukah kamu siapa Syaikh itu?” Ia menjawab, “Saya tidak tahu.” Mereka berkata, “Beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.” Mendengar jawaban itu, seketika wajah anak muda itu berubah. Ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin datang, anak muda itu menangis dan mencium kening beliau. Setelah peristiwa itu ia mengalami perubahan dan menjadi anak muda yang shaleh. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41)
Sumber: Untaian Mutiara Kehidupan Ulama Ahlus Sunnah, oleh Abu Abdillah Alercon, dll (www.fatwaonline.com), penerbit Qaulan Karima, hal. 101-118.

Ulama yang menjaga kebenaran


Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (12/ 346 ) dan dinukil oleh al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya an-Nukat ash-Shalahiyyah, pada pembahasan hadits Maqlub (ma’rifatul maqlub berarti hadits-hadits yang diputar balik).
Terdapat dua kisah masyhur di sana, salah satunya adalah kisah Abu Nu’aim dan berikutnya adalah kisah al-Bukhari rahimahullah .
Adapun kisah Abu Nu’aim, al-Khatib meriwayatkan dari jalan Ahmad bin Manshur ar-Ramadi (dari kalangan muhaditsin) -waktu itu tingkatannya masih kecil dibandingkan dengan tiga tokoh yang ada dalam kisah ini, Abu Nu’aim, al-Imam Ahmad, dan shahabatnya yaitu Yahya ibnu Ma’in, yang sangat ditakuti oleh para pemalsu hadits, dan yang lainnya karena Yahya bin Ma’in sangat jeli dan menguji seorang perawi dan akan ketahuan. Sedangkan Abu Nu’aim adalah termasuk syaikhnya al-Bukhari dari masyayih (guru-guru)nya yang besar-, mengatakan :
Aku keluar melakukan safar bersama Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in menuju Abdur Razaq ash-Shan’ani, -beliau seorang muhaddits yang terkenal dalam tarikh (sejarah), orang yang paling banyak didatangi oleh muhadditsin, ketika berada di Shan’a-, maka tatkala kami pulang ke negeri Kuffah. Berkata Yahya bin Ma’in kepada al-Imam Ahmad bin Hanbal : “Saya ingin menguji Abu Nu’aim –apakah benar-benar tsiqah/tidak-“ Maka al-Imam Ahmad mengatakan : “Jangan kamu lakukan itu, dia itu tsabit (orang yang teguh), jelas dan tidak perlu diuji”.
Akan tetapi, Yahya bin Ma’in tidak peduli. Maka diapun mengambil selembar kertas kemudian menulis dalam satu lembar itu 30 hadits dari haditsnya Abu Nu’aim, kemudian pada setiap akhir dari 10 hadits itu, beliau memasukkan hadits yang bukan dari riwayat Abu Nu’aim, kemudian kamipun mendatangi Abu Nu’aim, maka diapun keluar menemui kami, kemudian duduk di atas bangku panjang di beranda rumahnya yang berdampingan dengan pintu rumahnya, dan Abu Nu’aim mendudukkan al-Imam Ahmad di samping kanannya dan Yahya bin Ma’in di samping kirinya. Dan saya -Ahmad bin Manshur- duduk di bawah. Maka Yahya bin Ma’in pun mulai membaca 10 hadits yang pertama, dalam keadaan Abu Nu’aim mendengarkannya, kemudian membaca hadits yang ke sebelas, maka berkata Abu Nu’aim : “Ini bukan hadits saya, hapus hadits itu”.
Kemudian Yahya bin Ma’in membaca 10 hadits yang kedua, kemudian membaca hadits yang ke dua puluh satu, maka berkata Abu Nu’aim : “Ini juga bukan hadits saya, hapus hadits itu”. Kemudian dibaca 10 hadits yang terakhir, kemudian membaca hadits sisipan yang ketiga.
Maka di sinilah Abu Nu’aim marah, maka berubahlah wajah Abu Nu’aim -tahu bahwa ia sedang diuji oleh Yahya bin Ma’in-. Kemudian Abu Nu’aim menggenggam lengannya al-Imam Ahmad yang ada di samping kanannya, kemudian beliau mengatakan : “Adapun ini, maka wara’ (kesederhanaan)nya orang ini menghalanginya untuk berbuat seperti ini, dan adapun ini, mengisyaratkan kepada Ahmad ar-Ramadi, maka dia masih kecil untuk bisa melakukan yang seperti ini, akan tetapi ini dari perbuatanmu, wahai orang yang melakukan”.
Kemudian beliau mengeluarkan kakinya dari balik pakaiannya kemudian ditendangnya Yahya bin Ma’in, seingga dia jungkir balik (berputar), kemudian Abu Nu’aim masuk ke rumahnya dan ditutup pintu rumahnya.
Maka Ahmad berkata kepada Yahya bin Ma’in: “Bukankah saya sudah melarangmu untuk melakukan itu, dan aku mengatakan kepadamu bahwa orang ini tsabt/tsiqah”. Yahya bin Ma’in berkata kepada al-Imam Ahmad : “Satu tendangan ini lebih aku sukai daripada safar yang saya lakukan”.

Kesederhanaan Syaikh Al-Utsaimin


Abdullah bin Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin (putra beliau) berkisah:

Suatu ketika Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz Alu Su’ud, gubernur Qashim, memberi hadiah kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sebuah mobil baru. Ketika pulang ke rumah, beliau melihat sebuah mobil diparkir di depan rumah dan beliau pun diberi tahu tentang mobil itu. Mobil itu tetap di luar rumah sampai lima hari tanpa dipakai oleh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Beliau akhirnya berkata kepada putranya, Abdullah, “Kembalikan mobil itu kepada Pangeran dan ucapkan terima kasih atas kemurahan hatinya. Beritahu dia bahwa saya tidak membutuhkannya.”
Maka mobil itupun dikembalikan kepada Pangeran Abdullah, sementara Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tetap mengendarai mobilnya yang sudah tua dan murah. Sampai meninggal beliau masih tetap memiliki mobil yang sama. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 23)

http://kisahislam.net/2012/07/29/kembalikan-mobil-itu-kepada-pangeran/

Jatuhnya Seorang Alim, Jatuhnya Dunia


Di nukil dari kitab “Muqodimah Hasyiah Ibnu Abidin” pada jilid yang ke 1/67, kisahnya Imam Abu Hanifah bersama seorang anak kecil, berikut nukilannya:
Suatu ketika Imam Abu Hanifah melihat seorang anak kecil yang sedang bermain-main dengan lumpur, maka beliau menghampirinya lalu berkata kepadanya: “Wahai anak kecil, hati-hati nanti kamu jatuh terpeleset ke tanah”. Anak kecil tersebut menjawab perkataan sang Imam: “Hati-hati juga dirimu dari jatuh (ke dalam kesalahan), karena jatuhnya seorang alim akan bisa menjadikan jatuhnya dunia”.
Maka semenjak mendengar ucapan tersebut Imam Abu Hanifah enggan untuk memberi fatwa kepada manusia, melainkan setelah terlebih dahulu mempelajari isi pertanyaanya dan mendiskusikan bersama murid-muridnya selama sebulan penuh. 
Sumber: Ebook Mutiara Salaf (www.islamhouse.com)

Selasa, 17 Juli 2012

Demi Ganti yang Lebih Baik


Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan dalam Kitabnya, Dzailuth Thabaqaat, tentang kisah al-Qadhi Abu Bakar al-Anshary al-Bazzaz yang berkata,

“Saya tinggal di Mekah yang dijaga oleh Allah. Suatu hari aku merasakan lapar. Akupun keluar untuk mencari rejeki yang bisa aku makan, namun tidak juga mendapatkannya. Tatkala aku sedang berjalan, tiba-tiba aku menemukan bungkusan sutera yang diikat dengan pita dari sutera yang mahal. Aku membawanya pulang, dan kucoba membukanya. Ternyata di dalamnya terdapat kalung yang terbuat dari mutiara, belum pernah aku melihat kalung sebagus itu. Aku segera membungkusnya kembali dan mengikatnya seperti sedia kala.

Aku kembali keluar, tiba-tiba aku mendengar orang tua yang sedang berhaji  berseru, ”Barangsiapa yang menemukan sebuah bungkusan yang ciri-cirinya begini dan begini, maka akan aku beri hadiah 500 dinar emas.”

Aku berkata dalam hati, ”Saya sedang terdesak kebutuhan, apakah sebaiknya aku mengambil dinar itu, dan mengembalikan bungkusan itu kepadanya, ya?” Lalu aku berkata, ”Kemarilah, aku telah menemukannya.” Aku membawa orang tua itu ke rumah, kutanyakan ciri-ciri bungkusan, tentang kalung mutiara, jumlah barang dan sesuatu yang berada di dalamnya. Ternyata apa yang diutarakan persis dengan apa yang kutemukan. Maka aku keluarkan bungkusan itu, dan kuserahkan kepadanya. Diapun menyerahkan uang 500 dinar emas seperti yang ia janjikan. Kukatakan kepadanya, ”Saya hanya menyampaikan amanah yang harus saya kembalikan kepada Anda, saya tidak meminta upah.” Dia mendesakku untuk menerima upah itu, sementara aku sudah berjanji untuk tidak mengambilnya sedikitpun.

Orang itu pergi meninggalkanku, lalu pulang ke negerinya setelah menyelesaikan hajinya. Sedangkan saya makin terdesak kebutuhan. Hingga aku memutuskan keluar dari Mekah dan mengarungi lautan dengan kapal tua bersama segolongan orang. Di tengah laut, kapal kami diterpa ombak dan badai yang dahsyat hingga kapalpun pecah. Orang-orang tenggelam, sementara Allah menyelamatkan aku, di mana aku bisa berpegangan pada sebuah kayu, hingga aku terdampar di sebuah pulau.

Aku memasuki pulau itu, dan ternyata di sana tinggal kaum muslimin yang rata-rata masih awam, belum bisa membaca dan menulis. Aku mendatangi masjid, shalat dan membaca al-Qur’an. Orang-orang yang berada di masjid memerhatikan aku, lalu berkumpul mengerumuni aku. Setiap orang yang bertemu denganku, memintaku untuk mengajarkan al-Qur’an kepadanya. Akupun mengajarkan al-Qur’an kepada mereka. 

“Apakah Anda bisa membaca dan menulis?” Tanya mereka.  “Ya, bisa!” Jawabku. 

Merekapun berkata, “Kalau begitu, ajarilah kami membaca dan menulis!” Lalu mereka datang dengan membawa anak-anak dan remaja mereka dan akupun mengajari mereka. Banyak sekali faedah dari kegiatan yang saya lakukan. Hingga mereka ingin, agar aku tetap tinggal bersama mereka. Mereka berkata, “Di tengah kami ada gadis yatim yang baik dan kaya, kami ingin Anda menikahinya dan tetap tinggal bersama kami di Pulau ini.” 

Awalnya aku menolak, namun mereka terus membujukku hingga akupun menyanggupinya. Mereka mengadakan walimah untuk saya. Dan tatkala bertemu dengan gadis itu, ternyata aku melihat kalung mutiara yang pernah kutemukan di Mekah dahulu melingkar di lehernya. Aku keheranan dan terus memerhatikan kalung itu. Hingga salah seorang keluarganya berkata, “Wahai Syeikh, Anda telah menyinggung perasaannya, Anda tak sudi melihatnya, dan hanya melihat kalung yang dikenakannya.” 

Buru-buru saya berkata, “Tentang kalung itu, ada kisah yang saya alami.” “Kisah apa itu?” Tanya mereka penasaran. Lalu saya bercerita kepada mereka tentang kalung dan pertemuanku dengan orang tua yang memilikinya. Usai aku bercerita, mereka tersentak dan meninggikan suara tahlil dan takbir

Lalu saya bertanya, ”Subhanallah, apa yang terjadi atas kalian.” Mereka berkata, ”Sesungguhnya orang tua yang bertemu denganmu itu adalah ayah dari gadis ini. Beliau juga sempat bercerita perihal Anda setelah kembali dari haji. Beliau berkata, ”Demi Allah, aku belum pernah melihat pemuda muslim sebaik orang yang mengembalikan kalung itu, ya Allah kumpulkanlah aku dengannya, aku ingin menikahkan ia dengan puteriku.” Sekarang beliau sudah meninggal namun doanya telah dikabulkan oleh Allah.”

Subhanallah, beliau meninggalkan upah 500 dinar meskipun itu boleh, demi kemuliaan yang lebih di sisi Allah, lalu Allah menggantikan beliau dengan kalung mutiara sekaligus pemiliknya. Allah memberikan beliau ganti yang jauh lebih baik.

Kisah ini mengingatkan kita akan kaidah yang sangat populer, ”Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberikan untuknya ganti yang lebih baik.”

Ketika seseorang meninggalkan sesuatu yang mubah, demi mendapatkan keutamaan agamanya, demi mengharap pahala yang besar dari Allah, maka Allah akan menggantikan untuknya sesuatu yang lebih baik, lebih nikmat dan lebih berharga dari apa yang ditinggalkannya itu. Apalagi jika yang ditinggalkan itu adalah sesuatu yang berstatus haram dan dosa.

Ganti yang Lebih Baik di Dunia
Kita hidup di suatu zaman, di mana peluang-peluang kemaksiatan terbuka lebar, program-programsyaithani telah menghegemoni, menawarkan jalan haram untuk meraih kebutuhan yang diingini. Makin banyak orang yang mentolelir jalan dosa untuk mencapai tujuan. Banyak yang merasa sulit untuk berkelit dari debu dosa dan getahnya. Dalam hal mencari rejeki misalnya. Sampai tercetus kesimpulan yang diamini banyak orang, ”Mencari rejeki yang haram saja susah, apalagi yang halal!”

Tapi, orang yang beriman memiliki logika yang berbeda; bahwa justru dengan meninggalkan cara yang haram, niscaya Allah akan memberikan kemudahan untuk mendapatkan rejeki yang halal dan lebih bernilai. Dia yakin akan janji Allah, ”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (QS. ath-Thalaq 2-3)

Dia juga yakin akan janji Rasul-Nya, ”Sesungguhnya, tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah Azza wa Jalla, melainkan pasti Allah akan menggantikan dengan sesuatu yang lebih baik bagimu.” (HR Ahmad, al-Albani mengatakan, sanadnya shahih sesuai syarat Muslim)

Allah tidak akan membiarkan orang yang meninggalkan riba menjadi bangkrut. Tidak mungkin juga seseorang jatuh miskin karena  mereka meninggalkan korupsi, curang dalam timbangan maupun  jual beli yang haram. Allah pasti memberi ganti yang lebih baik di dunia, sebelum ganti yang lebih kekal di akhirat.

Ganti yang dimaksud mungkin saja secara jenis dan bentuknya sama, tapi dengan nilai yang lebih berharga. Tapi ada juga kemungkinan, Allah memberi ganti dalam wujud lain yang tak dikenali pelakunya. Namun dipastikan, bahwa ganti itu lebih besar manfaatnya dari yang ditinggalkannya.

Ganti yang Lebih Kekal di Akhirat
Ketika seorang hamba rela mencampakkan kelezatan yang ada di depan mata, demi meraih kenikmatan akhirat yang didamba, maka Allah akan memberikan ganjaran lebih dari apa yang diinginkannya, ”Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya..”  (QS. asy-Syuura 20)

Ya, dia akan mendapatkan bonus bagian di dunia, juga kenikmatan jannah yang lebih menyenangkan dari apa yang diidamkannya. Kenikmatan jannah yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terbersit dalam hati manusia. Apapun yang kita bayangkan dan harapkan tentang kenikmatan jannah, hakikatnya jauh melebihi dari itu semua.

Allah telah memberikan percontohan yang klimak. Betapa Asiyah, istri Fir’aun al-mal’un rela meninggalkan suaminya yang kafir durjana, demi iman dan mengharap ridha Pencipta-Nya. Dia juga rela tersingkir dari kemegahan istana suaminya, demi mendapatkan istana yang lebih baik dan lebih kekal di sisi-Nya. Beliau berdoa, “Wahai Rabbku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam jannah dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” (QS at-Tahrim 11)

Apa hasilnya? Di akhirat, beliau masuk dalam daftar wanita paling terhormat di jannah, sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam., “Wanita penghuni jannah yang paling utama adalah Khadijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad, Maryam bintu ‘Imraan dan Asiyah bintu Muzaahim istri Fir’aun.” (HR Ahmad, al-Albani menshahihkannya)

Maka Allah menggantikan untuk beliau istana yang lebih indah di jannah, dan sudah pasti, pasangan hidup yang jauh lebih baik dan terhormat daripada Fir’aun. Semoga kita tak ragu lagi untuk mencampakkan yang haram, demi mendapatkan yang lebih baik dan lebih kekal, wallahul muwaffiq. (Abu Umar Abdillah)